Meja panjang ruang makan dari rumah yang kita usahakan.

Ismail
4 min readNov 17, 2023

--

Aku tumbuh besar dari mimpi-mimpi dan percakapan saban hari yang dibisikkan kedua orangtuaku di meja panjang ruang makan dari rumah yang mereka usahakan.

/i/

Ayah membangun Borobudur di ruang keluarga dari rumah yang kita usahakan.

Ayah akan menghabiskan sore miliknya di bawah remang-remang lampu kekuningan dan membaca koran-koran kesiangan. Aku akan melesak di kursi kayu, berseberangan dengan Ayah yang kemudian menyuguhkan piring-piring pembicaraan yang sporadis dan tumpang tindih.

Ayah acapkali menyelesaikan berpetak-petak lukisannya di ruang makan. Ibu tidak pernah protes, sebab aku tahu Ibu suka melihat dunia dari ujung kuas milik Ayah. Aku di umur delapan tahun duduk di pangkuan Ayah selagi ia gesit merekam serpihan-serpihan dari Peperangan Gatotkaca dan Antasena milik Basuki Abdullah di sebidang kanvas dengan jemarinya. Piring-piring sudah dipinggirkan Ibu, yang di atas meja adalah palet dan imajinasi-imajinasi yang berserak. Aku lebih sering menyaksikan Ayah membenahi roman-roman panorama dan lanskap kehidupan, tapi di usiaku yang lima belas, sketsa itu menubuhkan lekuk-lekuk manis wajah Ibu.

“Yang kamu maksud tadi itu lukisan Srihadi Soedarsono,” kata Ayah kemarin dulu, selepas kami kembali dari menghadiri sebuah galeri seni di bilangan Jakarta.

“Aku suka yang Borobudur itu, Yah,” tuturku menyinggung perihal lain. “Lukisannya memang tidak dijual ya?”

Ayah tersenyum dan menjatuhkan pandangannya pada sebuah kanvas besar yang tergantung di dinding ruang keluarga. Aku tahu Ayah cenderung berkiblat pada Affandi, namun baru kemudian aku benar-benar tersihir membekuk sebuah Borobudur, yang sesungguhnya sudah rampung sejak lima tahun lalu, dibiarkan bernapas tanpa bingkai. Setiap pagi sepanjang lima tahun, aku selalu memandang lukisan Borobudur itu sebelum berangkat sekolah. Ayah tidak pernah membangun Borobudur itu di ruang makan sebagaimana Ayah merekonstruksi kota-kota tempo dulu. Borobudur dibangun di ruang keluarga, kadang-kadang sengaja dibawa ke serambi depan pada akhir pekan. Ukurannya besar, nyaris menutupi seluruh tembok di atas televisi. Bahkan tempelan-tempelan karya hasil mewarnaiku berakhir menyedihkan di balik ketiak Borobudur.

Aku tidak tahu mengapa Borobudur itu dibiarkan berdebu dan tak berbingkai. Ayah beralasan, lukisannya tidak jadi dibeli. Padahal, Ayah bisa mengobralnya kembali kalau mau. Dan Borobudur itu berakhir tetap bertengger menemani malam-malam kesepianku. Aku betah berlama-lama pelesiran di Borobudur yang dibangun Ayah, lekat-lekat menyiangi mataharinya yang cenderung muram membiaskan gelap temaram alih-alih terik membakar pada pohon-pohon palem, yang sesekali lenggak-lenggok disinggung angin-angin masygul.

Ayah tidak pernah menuntutku menjadi tulang-tulang rusuk Rocinante dan turun ke jalan dengan pedang maupun perisai sebagaimana Che Guevara juga mencintai keluarga dan ruang makan di rumah yang ia usahakan. Ayah lebih suka membiarkanku dengan sendirinya berkenalan dengan Sudjojono, Sasmitawiyana, kerajinan patung dan tembikar, serta pameran-pameran yang memuat nama pena miliknya. Kerap aku mempertanyakan, mengapa Ayah tak pernah coba meraba lagak-lagu Tiepolo, Dali, atau Pierre-Auguste, misalnya?

Tapi toh, Yah, aku dengan senang hati akan tenggelam dimanapun engkau memantik nyawa milikmu di setiap bercak-bercak cat yang tersisa.

/ii/ Aku menemukan Rumah Bambu dan impian-impian Ibu yang menari dari meja makannya di masa lalu.

Jika Ayah adalah kerangka dalam membangun rambu-rambu kehidupan, maka Ibu serupa manifestasi dari bentuk penggalan puisi Ibunda Tercinta milik Umbu Landu. Perempuan itu senantiasa bernama: cinta kasih sayang, tiga patah kata purba, di atas pundaknya setiap anak tegak berdiri menjangkau bintang-bintang dengan hati dan janjinya.

Ibu akan datang menata hidangan yang berserakan untuk menengahi polemik kecilku dan Ayah dengan bait-bait akan sastra dan ideologi kebebasan miliknya. Ibu pula yang membesarkanku dengan sentuhan-sentuhan akan cinta kasih di balik pemikiran sengit yang sebelumnya dibentuk Ayah. Ibu adalah jendelaku menuju dunia sederhana yang berkelindan dalam kehidupan sehari-hari yang kerap membosankan.

Kelak aku berpikir kalau bukan hanya surga yang ada di telapak kaki, namun juga rahasia alam semesta dan sihir-sihir menyenangkan telah dikandung dalam asmara dan genggaman tangannya.

Suatu waktu, aku yang masih kelas lima Sekolah Dasar menghampiri Ibu di meja panjang dari rumah yang bertahun-tahun diusahakan. Kubilang, aku mendapat tugas membuat puisi. Ibu tersenyum, dan malam itu aku bertemu Ibu di usianya yang remaja. Tangan Ibu piawai merajut kata demi kata di atas sehelai kertas, dan dalam sekejap telah dibuahinya seisi dunia. Mata Ibu memancarkan sisa-sisa harap dan romantisme belia yang telah ditanggalkan secara cuma-cuma selepas dirinya duduk di pelaminan.

Di kepalaku hanya ada sepotong puisi Kesaksian Akhir Abad-nya Rendra yang menggenang. Sementara Ibu adalah sebuah peradaban yang tidak pernah lekang. Aku menemukan Rumah Bambu milik Ibu secara tak sengaja. Tanpa maksud. Begitu saja Rumah Bambu itu muncul, dan setelahnya aku hanyut, lupa pada kepingan-kepingan senja yang dijanjikan Seno Gumira. Rumah Bambu itu diwujudkan oleh Mangunwijaya dan aku membongkar-bongkarnya di atas meja makan dari rumah yang kita usahakan. Ibu mewariskan Rumah Bambu padaku, membiarkannya tergeletak dan terbatuk-batuk rapuh setelah bertahun-tahun menjadi saksi hidup seorang gadis, yang kemudian wanita, akan telaga-telaga lamunan dan cita-cita yang pada akhirnya hanya menjadi sebuah ingatan lapuk dan nostalgia.

Aku tumbuh besar dari mimpi-mimpi yang dibangun orangtuaku di meja panjang ruang makan yang kami usahakan.

Aku tumbuh dan besar bersama kedua orangtuaku yang kadang-kadang berusia lima tahun, tujuhbelas tahun, dan tahun-tahun sebelum mereka membangun sebuah mimpi di meja panjang dari ruang makan yang mereka usahakan.

Didedikasikan untuk Ayah dan Mama, yang meskipun kita bertiga kerap tidak bernapas dalam satu kepala yang sama, namun tidak pernah habis terbakar seluruh cinta di antara tata ruang yang kita hidupkan esok dan selama-lamanya.

Kelak akan kubawa serta mimpi-mimpi kalian ke meja panjang ruang makan dari rumah yang nanti aku usahakan.

--

--

No responses yet